Sejarah Pondok Pesantren: Perkembangan Dan Perannya Di Masyarakat – Santri di pesantren. Usia yang sesuai bagi anak di pesantren, sebaiknya pada usia tamat sekolah dasar atau sekolah menengah pertama (SMP), adalah sekitar 12 tahun. Dan sebaiknya anak lancar mempelajari prinsip-prinsip dasar pendidikan agama sejak kecil, seperti menghafal surat-surat pendek Al-Quran, mengetahui tata cara tahlil dan tadar, pato dakwah, mengetahui struktur kitab suci Al-Sandara. . – Alquran. dll. (Pendidikan, TK, pendidikan dasar). Agar anak terbiasa membaca Al-Qur’an saat Maghrib dan salat Isya atau fardhu berjamaah di masjid atau musala, ada baiknya ibu mendampinginya.
Pesantren (atau pesantria) adalah lembaga pendidikan Islam tradisional tempat para santri tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan guru, yang lebih dikenal dengan sebutan kyai, dan mempunyai asrama tempat para santri dapat tinggal. Siswa ditempatkan di kompleks yang juga mencakup masjid untuk beribadah, ruang belajar dan kegiatan keagamaan lainnya. Kompleks ini biasanya dikelilingi tembok untuk memantau keluar masuknya siswa sesuai aturan yang berlaku.
Pesantren juga dapat dipahami sebagai lembaga pendidikan dan keagamaan, biasanya dengan cara non-klasik, dimana kiya mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan, dan santri biasanya tinggal di pesantren (pondok pesantren). ). ).
Biasanya pesantren dimulai di satu tempat, kemudian santri yang ingin belajar agama datang ke sana.
Dengan bertambahnya jumlah siswa dari hari ke hari, muncullah inisiatif untuk membangun gubuk atau asrama di samping rumah seseorang. Pada zaman dahulu masyarakat tidak memikirkan bagaimana cara membangun gubuknya, namun hanya memikirkan bagaimana cara mengajarkan ilmu agama agar siswa dapat memahami dan memahaminya. Saat itu, Kiai kurang memperhatikan asrama santri yang biasanya sangat kecil dan sederhana. Mereka menempati sebuah bangunan atau rumah kecil yang mereka bangun di sekitar rumah Kiu. Semakin banyak siswa, semakin banyak kabin yang dibangun. Para pelajar mempopulerkan keberadaan interior Islami hingga terkenal dimana-mana, seperti interior yang muncul pada era Wali Song.
Tokoh Islam di Indonesia mempunyai peranan yang sangat penting baik bagi kemajuan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia pada umumnya. Menurut catatan yang ada, kegiatan pendidikan agama di nusantara dimulai pada tahun 1596. Kegiatan keagamaan ini kemudian dikenal dengan nama pesantren. Bahkan Howard M. Federspiel, salah satu ulama Islam di Indonesia, mencatat sekitar abad ke-12 terdapat pusat-pusat studi di Aceh (sekolah Islam di Aceh disebut Dayah) dan Palembang (Sumatera), Jawa Timur dan Goa. (Sulawesi menghasilkan tulisan-tulisan penting dan menarik minat pelajar untuk belajar).
Istilah pesantren berasal dari kata pe-santri-an, dan kata “santri” (Jw: cantrik) berarti mur padepokan atau mur orang pintar dalam bahasa Jawa.
Untuk mengatur kehidupan pedalaman Islam, kiai mengangkat seorang santri yang lebih tua untuk memimpin kawan-kawannya yang lebih muda, yang biasa disebut kepala desa pedalaman.
Tujuan santri adalah berpisah dari orang tua dan keluarga agar mereka belajar hidup mandiri sekaligus meningkatkan hubungan dengan sesama dan Tuhan.
Kata santri berasal dari kata Cantrik (Sansekerta atau mungkin bahasa Jawa) yang berarti orang yang selalu mengikuti gurunya, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa menjadi sistem asrama yang disebut Pawiyatan.
Istilah santri juga ada dalam bahasa Tamil yang berarti guru mengaji, dan C. C Berg berpendapat bahwa istilah ini berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa Hindi berarti orang yang mengetahui kitab suci agama Hindu atau ulama yang merupakan seorang ulama. pakar. dalam kitab suci agama Hindu.
Kadang-kadang juga diartikan sebagai gabungan kata wali (orang baik) dan suku kata tra (bermanfaat), karena kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia yang baik.
Pondok pesantren pada hakikatnya adalah asrama pendidikan Islam tradisional tempat para santri tinggal bersama di bawah bimbingan seorang atau lebih guru yang lebih dikenal dengan sebutan kiai.
Istilah pesantren dipahami sebagai salah satu bentuk kelembagaan pendidikan Islam di Indonesia. Asrama atau asrama merupakan suatu tempat yang diperuntukkan bagi kegiatan kemahasiswaan. Keberadaan pondok ini menunjang segala aktivitas yang ada. Hal ini didasari oleh jarak antara pesantren dengan sarana pesantren lainnya yang biasanya berdekatan, sehingga memudahkan komunikasi antara santri dan santri, serta antara santri dan santri.
Dengan demikian, selain saling gotong royong santri antara kiai dan santri serta antara santri dan santri akan tercipta situasi komunikatif. Menurut Zamakhsyari Dhofer, terdapat hubungan timbal balik antara kiai dan santri, dimana santri menganggap kiai seolah-olah adalah orang tuanya, dan santri menganggap kiai sebagai anugerah Tuhan yang harus dilindungi setiap saat.
Pendekatan gotong royong ini menimbulkan rasa kekeluargaan dan saling mencintai satu sama lain, sehingga para kiai dan ustaz dapat dengan mudah membimbing dan mengawasi santri atau santrinya. Segala sesuatu yang dihadapi santri dapat diamati langsung oleh kiai dan ustaz, sehingga dapat membantu santri dengan solusi atau petunjuk yang cepat, mengungkap permasalahan yang dihadapi santri.
Kondisi kabin pada masa kolonial sangat berbeda dengan kabin masa kini. Hurgronje menggambarkan kondisi gubuk pada masa penjajahan (dalam bukunya Imron Arifin, Kiai Pimpinan) yaitu: “Gubuk itu terdiri dari bangunan persegi, biasanya terbuat dari bambu, tetapi di negara-negara makmur dibuat tiang-tiang. terbuat dari kayu, dan batangnya juga terbuat dari kayu. Tangga gubuk dihubungkan dengan sumur melalui tangga batu, sehingga para murid yang sebagian besar tidak membawa dapat membasuh kaki di gubuknya.
Gubuk sederhana hanya terdiri dari satu ruangan besar tempat orang tinggal bersama. Ada juga gubuk yang tampak sempurna di mana Anda dapat menemukan gang (koridor) yang dihubungkan oleh sebuah pintu. Di kiri-kanan koridor terdapat ruangan-ruangan kecil dengan pintu sempit, karena ketika memasuki ruangan orang terpaksa membungkuk, jendelanya kecil berjeruji. Dekorasi interiornya sangat sederhana. Di depan jendela kecil terdapat kompor pandan atau rotan dan meja pendek dari bambu atau kayu dengan beberapa buku di atasnya.
Saat ini keberadaan pesantren telah mengalami perkembangan sedemikian rupa sehingga komponen yang diharapkan semakin bertambah dan dilengkapi dengan sarana dan prasarana.
Sepanjang sejarah pertumbuhannya, pesantren telah melalui beberapa tahapan perkembangan, antara lain dibukanya pesantren khusus perempuan. Akibat perluasan ini, bermunculan rumah-rumah perempuan dan laki-laki. Agar pesantren yang relatif besar dapat menerima santri baik laki-laki maupun perempuan, maka dilakukan pengklasifikasian pesantren berdasarkan gender dengan aturan yang ketat.
Masjid merupakan salah satu unsur yang tidak dapat dipisahkan dari sekolah Islam dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik siswa, khususnya dalam shalat lima waktu, khutbah dan shalat Jumat, serta pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Senada dengan itu, Zamakhsyari Dhohier menyatakan bahwa: “Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi interior Islam merupakan wujud universalisme sistem pendidikan Islam tradisional. massa, sejak Masjid Kuba didirikan di dekat Madinah pada masa Nabi Muhammad SAW, semakin bersinar dalam sistem pesantren Islam. Sejak zaman Nabi, masjid menjadi pusat pendidikan Islam”.
Tradisi ini terus dijunjung tinggi oleh lembaga-lembaga interior Islam di Jawa, bahkan saat ini di daerah-daerah di mana umat Islam begitu dipengaruhi oleh kehidupan Barat, masih banyak ditemukan ulama yang berdedikasi mengajar santri di masjid dan membimbing serta menasihati santrinya.
Di Jawa, para kias biasanya pertama kali mendirikan pesantren dengan mendirikan masjid di dekat rumahnya. Langkah ini biasanya dilakukan atas perintah seorang kia yang dinilai mampu mengelola sebuah pesantren. Kiai kemudian mengajarkan mur-mur (siswa) mereka tentang masj, karena masj merupakan elemen yang sangat penting dalam interior Islam.
Sejak berkembangnya pedalaman Islam, pengajaran kitab-kitab klasik diberikan sebagai upaya untuk memajukan tujuan utama sekolah Islam, yaitu mendidik generasi ulama masa depan yang setia pada ilmu tradisi Islam. Oleh karena itu, kitab-kitab klasik Islam merupakan bagian integral dari nilai-nilai batin dan ilmu pengetahuan Islam yang tidak dapat dipisahkan.
Sebutan kitab-kitab Islam klasik lebih dikenal di dunia pedalaman Islam dengan sebutan “kitab kuning”, namun asal muasal istilah ini tidak diketahui secara pasti. Mungkin istilah ini disebutkan untuk membatasi tahun penyusunannya atau karena kertas kitab tersebut berwarna kuning, namun argumen tersebut tidak didukung karena saat ini banyak kitab-kitab Islam klasik yang dicetak di atas kertas putih.
Sistem sorogan, wetonan, dan bandongan biasa digunakan dalam pengajaran para guru interior Islam (kiai) atau ustaz dalam kitab-kitab Islam klasik. Menurut Zamakhsyari Dhofir, kitab-kitab Islam klasik yang diajarkan di pesantren dapat dibagi menjadi 8 kelompok, yaitu: (1) Nahwu (tata bahasa Arab) dan Sharaf (morfologi), (2) Fiqh (hukum), (3) Ushul Fiqh . (fikih), (4) hadis, (5) tafsir, (6) tauh (teologi Islam), (7) tasawuf dan etika, (8) cabang lain seperti Tarikh (sejarah) dan Balagha (retorika).
Kitab-kitab Islam klasik merupakan literatur dan pedoman bagi para kiai di pesantren. Keberadaannya tidak lepas dari keberadaannya di pesantren. Kitab-kitab klasik Islam merupakan modifikasi dari nilai-nilai ajaran Islam, dan kiai merupakan personifikasi dari nilai-nilai tersebut. Di sisi lain, kebutuhan kiai untuk berkembang karena kesaktiannya dan kemampuannya menguasai kitab-kitab klasik Islam.
Sehubungan dengan itu, Moh. Hasyim Munif mengatakan bahwa: “Ajaran-ajaran dalam Kitab Kuning tetap sahih dan relevan menjadi pedoman hidup dan menjalani kehidupan. Sahih artinya ajaran-ajaran tersebut diyakini berdasarkan Kitab Allah, Al-Qur’an, dan Sunnah Nabi (saw). Al-Hadits) dan relevan artinya ajarannya selalu tepat dan bermanfaat saat ini atau di masa depan.
Dengan demikian, pengajaran kitab-kitab Islam klasik menjadi mata pelajaran utama di pesantren guna menghasilkan lulusan yang menguasai ilmu keislaman dan diharapkan sebagiannya menjadi Qais.
Santri adalah sebutan bagi santri yang belajar secara mendalam